Rabu, 30 September 2009

Doa Di Medan Perang

DR. Rusfidra

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal ketika itu kamu merupakan kaum yang lemah”
(QS. Al Imran [3]: 123)

Hari itu, Jum’at tanggal 17 Ramadhan, saat kaum muslimin yang dipimpin Rasulullah saw sedang bersiaga mengatur strategi menghadapi serangan kafir Quraisy dalam perang Badar. Perang Badar merupakan perang terbesar yang pernah terjadi pada zaman Nabi. Perang itu sendiri dipicu karena kaum muslimin terus menerus dizalimi oleh kaum kafir. Mereka tidak hentinya-hentinya melancarkan propaganda, menggunakan harta kekayaan, tenaga dan pikiran untuk menghancurkan kaum muslimin. Berbagai strategi busuk dilancarkan untuk menyerang kaum muslim. Bahkan kaum kafir bersepakat menyerbu dan secara perlahan mereka bergerak mendekati kota Madinah, pusat pemerintahan Islam.
Untuk menghadapi serangan tersebut, Rasulullah memimpin para sahabat dan mengatur strategi menghadapi musuh. Sebanyak 313 orang tentara Islam di bawah pimpinan Nabi harus menghadapi kaum kafir yang berkekuatan 1000 orang bersenjata lengkap. Ketika kedua pasukan sudah saling berhadapan, perangpun tak terhindarkan. Ketika itulah Nabi saw mengangkat kedua tangannya sambil tengadah ke langit berdoa kehadirat Allah swt : “Ya Allah, orang-orang Quraisy datang dengan congkak dan sombong untuk memerangi-Mu dan mereka mendustakan Rasul-Mu”. “Ya Allah wujudkanlah yang telah Engkau janjikan kepadaku”.
Setelah berdoa, Rasulullah kemudian kembali ke medan perang untuk membangkitkan semangat juang pasukan kaum muslimin yang berjuang dengan gagah perkasa. Rasul berada di garis depan peperangan itu. Doa Rasulullah dikabulkan-Nya. Allah swt menurunkan pertolongan-Nya untuk membantu perjuangan kaum muslimin. Kisah itu termaktub dalam QS. Al Anfaal [8]: 12, berbunyi “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kalian, maka teguhkanlah pendirian orang-orang beriman. Akan Kutanamkan rasa takut di dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”.
Meskipun dari segi kuantitas pasukan kaum muslimin hanya sepertiga pasukan kafir dan persenjataan kaum muslimin tidak secanggih mereka, namun atas pertolongan-Allah kemenanganpun dapat diraih. “Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal ketika itu kamu merupakan kaum yang lemah” (QS. Al Imran [3]: 123). Riwayatpun mencatat sebanyak 14 orang pejuang Islam gugur sebagai syuhada dan 70 orang kafir mati dengan sia-sia.

Senin, 02 Februari 2009

Arti Keluarga

Hampir saja saya bertabrakan dengan seseorang di jalan, "Oh, maaf" kata saya. Orang itu berkata, "Maafkan saya juga; saya tidak melihat Anda." Kami berdua, orang itu dan saya, sama-sama bersikap sopan. Kami bahkan mengucapkan selamat tinggal sebelum berpisah. Namun keadaan menjadi berbeda ketika berada di rumah, bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, baik yang muda maupun yang tua.

Pada hari yang sama, pada saat saya sedang mempersiapkan makan malam, anak saya berdiri di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya menabraknya. "Minggirlah," saya menggerutu. Anak saya segera meninggalkan tempat itu sambil bersedih hati. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya tadi.

Ketika saya berbaring di tempat tidur, saya mendengar suara Tuhan dengan lembut berkata, "Ketika berhadapan dengan orang yang tidak kaukenal, engkau bersopan santun, tetapi terhadap anak yang kaukasihi, engkau malah menyakitinya. Pergilah ke dapur dan lihatlah, engkau akan menemukan bunga di dekat pintu masuk dapur. Bunga-bunga tersebut dipetik khusus untukmu. Anakmu sendiri yang memilih warnanya: merah muda, kuning, dan biru. Sebenarnya ia bermaksud untuk memberimu kejutan, tetapi engkau tidak menyadarinya, dan bahkan tidak melihat bahwa ia hampir menangis." Pada saat itu, saya merasa begitu rendah, dan hamper meneteskan airmata. Perlahan-lahan saya menuju ke kamar anak saya dan berjongkok di dekat tempat tidurnya; "Bangun anakku, bangunlah," kata saya. "Apakah bunga-bunga ini untuk ibu?" Anak saya tersenyum sambil berkata, "Saya menemukannya di dekat pepohonan. Saya memetiknya karena mereka cantik seperti ibu. Saya tahu ibu pasti menyukainya, terutama yang berwarna biru." Saya berkata, "Maafkan sikap ibu hari ini, tidak seharusnya ibu berteriak seperti itu." Ia berkata, "Tidak apa-apa Bu. Saya tetap mencintai ibu." Kata saya, "Ibu mencintaimu juga, dan ibu menyukai bunga-bunga itu, terutama yang berwarna biru."

Apakah Anda menyadari apabila besok kita meninggal dunia, perusahaan dimana kita bekerja akan begitu mudahnya menempatkan orang lain pada posisi atau jabatan kita. Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan selalu merasa kehilangan. Melihat kenyataan ini, jika kita lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga, merupakan suatu penanaman modal yang kurang bijaksana, bukan? Apakah arti di balik cerita ini? Apakah Anda mengerti arti kata KELUARGA?

Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.
FAMILY = (F)ATHER (A)ND (M)OTHER, (I), (L)OVE, (Y)OU

Diterjemahkan dari : HARSH WORDS
CARA MEMANDANG
--------------
(Judie Paxton)
Ketika masih duduk di SD, aku terlibat dalam perdebatan sengit dengan seorang anak lelaki di kelasku. Aku sudah lupa apa topik perdebatan kami, tetapi aku tidak lupa pelajaran yang kuperoleh hari itu.

Aku yakin sekali bahwa akulah yang benar, sedangkan ia salah. Sebaliknya, ia juga yakin bahwa ia yang benar dan aku yang salah. Maka guru kami memutuskan untuk memberikan pelajaran yang sangat penting. Ia menyuruh kami maju ke depan kelas. Aku berdiri di satu sisi meja, sementara anak itu di sisi yang lain. Di tengah meja ada satu obyek besar dan bundar. Aku melihat dengan jelas bahwa benda tsb berwarna hitam.

Lalu guru kami bertanya pada anak itu, apa warna benda tsb. "Putih", sahutnya. Aku tak percaya mendengarnya, sebab benda tsb jelas-jelas hitam. Kami kembali berdebat dengan sengit, kali ini tentang warna benda tsb.

Guru kami kemudian menyuruhku berdiri di tempat anak tadi, sementara anak tadi berdiri di tempatku. Kami bertukar tempat, dan sekarang guru kami bertanya kepadaku, apa warna benda itu. Aku terpaksa menjawab, "Putih", sebab benda tsb memang mempunyai dua sisi yang berbeda warna. Dari sudut ini, warna yang kelihatan adalah putih, sedangkan dari sisi yang lain warnanya hitam.

Hari itu aku mendapat pelajaran penting. Kita mesti bisa menempatkan diri pada posisi orang lain dan melihat situasinya melalui mata mereka supaya kita bisa benar-benar memahami perspektif mereka.

Guru adalah mereka yang menjadikan diri mereka jembatan. Para murid diundang untuk menyeberanginya. Setelah semua menyeberang, dengan senang hati mereka mengundurkan diri dan mendorong para murid untuk menciptakan jembatan tersebut (Nikos Kazantzakis)

Rabu, 28 Januari 2009

kekutan tanpa kekerasan

KEKUATAN TANPA-KEKERASAN
Dr. Arun Gandhi

Dr. Arun Gandhi adalah cucu Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K. Gandhi untuk Tanpa-Kekerasan.

Pada tanggal 9 Juni ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico dan bercerita bagaimana memberikan contoh tanpa-kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga.

Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama di orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama." Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.

Dengan gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?"

Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu." Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu.

Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah
dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."

Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah.

Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan.

Sejak itu saja tidak pernah akan berbohong lagi.

Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira tidak. Saya akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi.

Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa-kekerasan.

(diadaptasi dari "The Power Of Nonviolence", copyright Dr. Arun Gandhi.)